WANITA LAIN DI DALAM KAMARKU
Setiba di rumah, aku langsung membersihkan badan. Ketika masuk ke kamar, dadaku kembali sesak. Rasanya malas melihat ke arah tempat tidur. Bayangan Mas Dimas dan Siska masih membekas di benak. Tak terasa air mata jatuh begitu saja. Jika di depan orang, mungkin aku bisa menahan dan berpura-pura kuat. Sejujurnya, hatiku sangat rapuh. Bahkan, hancur lebur.
Mumpung waktu belum terlalu malam, aku segera menelepon orang kantor untuk mengganti tempat tidur dengan yang baru. Aku tak ingin membiarkan sisa-sisa kebejatan Mas Dimas dan wanita jalang itu mengotori rumahku.
“Maaf, Pak, bisa antar tempat tidur yang baru ke rumah?”
“Baik, Bu. Tapi kami bisa mengantar besok pagi, soalnya mobil sedang dipakai pengantaran,” jawab Pak Ringga, karyawan yang bertanggung jawab di toko.
“Ya udah, Pak. Saya tunggu besok pagi.” Aku langsung menutup telepon.
Aku keluar kamar dan bersantai di ruang keluarga. Kemudian, kucoba menelepon Ibu dan memberi tahu beliau kalau aku telah sampai dengan selamat.
“Dela, kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Ibu penasaran. Mungkin karena mendengar suaraku yang lesu, tidak seperti biasa.
Entah mengapa aku tak bisa menahan kesedihan. Tangisku pun seketika pecah. “Dela minta maaf, Bu. Dela belum bisa jadi istri yang baik.”
Ibu semakin panik dan mencecarku dengan banyak pertanyaan. “Apa yang terjadi, Dela? Apa maksudmu berbicara seperti itu?”
“Mas Dimas, Bu.” Ucapanku terhenti karena tak kuasa menahan tangis. Air mata kian membanjiri pipi.
“Ada apa dengan Dimas? Apa yang sudah dia lakukan? Dela! Jawab pertanyaan Ibu!” Ibu mengeraskan suaranya.
“Mas Dimas selingkuh dengan sekretarisnya, Bu.”
Seketika Ibu terdiam. Beberapa saat, beliau melanjutkan pembicaraan. “Ibu tidak bisa berbuat apa-apa. Dimas itu, kan, pilihanmu sendiri. Semoga Tuhan menguatkan hatimu.”
Hening. Ibu seketika terdiam. Hanya terdengar suara isakan tangisku. Sungguh tidak menyangka terhadap pengkhianatan yang dilakukan Mas Dimas.
***
Suara getaran ponsel mengagetkanku. Badanku mendadak terasa sakit. Setelah kuperhatikan sekitar, ternyata semalam aku ketiduran di sofa.
Segera kuraih benda pipih yang berada di sampingku. Sembilan panggilan tak terjawab dari nomor tak dikenal. Namun, kuabaikan. Mungkin saja orang iseng atau salah sambung.
Tak berselang lama, nomor tersebut kembali menghubungi. Dengan keraguan kuterima, tapi tidak bersuara.
“Baru bangun, ya?” Suara Gerad mengagetkanku.
Astaga! Dari mana dia mendapatkan nomorku?
“Ada apa?” jawabku ketus.”
“Aku udah di depan rumahmu.” Gerad langsung mematikan telepon.
Ya Tuhan. Apa yang akan dia lakukan di sini? Aku beringsut seraya merapikan rambut yang acak-acakan. Kemudian, mengintip dari celah gorden. Gerad dengan penampilan rapi sedang berdiri di halaman rumah.
Aku spontan bergegas mandi. Setelah itu, aku keluar menemui Gerad.
“Mau apa di sini?” tanyaku sinis sambil melipat kedua tangan di dada.
“Mau melamar kamu!” ledek Gerad.
“Jangan gila kamu.” Aku membuang wajah.
Sejak awal, aku sangat tidak menyukai Gerad. Padahal Ayah dan Ibu sempat memaksaku untuk menerima pinangannya, namun selalu kutolak. Gerad memang berasal dari keluarga mampu. Entah mengapa hatiku tidak bisa menerimanya. Aku lebih memilih Mas Dimas yang pada saat itu hanya seorang karyawan biasa.
Mataku terus memindai sekitar. Jangan sampai orang melihatku dan mengira kami berbuat sesuatu. Walaupun aku sebentar lagi akan berpisah dengan Mas Dimas, merasa tidak pantas saja jika berduaan dengan seorang lelaki.
“Kalau nggak ada yang penting, silakan pergi!” Aku membalikkan badan dan berjalan menjauh.
Gerad ternyata mengikutiku. “Hei, aku cuma mau antar ini.” Dia menunjukkan kotak cincin berwarna merah.
Aku semakin bingung. Mengapa bisa kotak cincin itu ada pada Gerad?
“Kemarin aku menemukan ini terjatuh di samping mobilmu,” lanjut Gerad menjelaskan.
Astaga! Aku lupa. Ya, setelah mengetahui perselingkuhan Mas Dimas, aku langsung melepas cincin kawin dan meletakkan di kotaknya. Ketika buru-buru berangkat ke kantor, aku menaruh di saku celana begitu saja.
Gerad mengulurkan padaku dan langsung kuterima. Setelah itu, aku membuangnya di tempat sampah. Menurutku, barang itu sudah tak berharga lagi. Hanya meninggalkan kenangan pahit.
“Kenapa kamu buang?” Gerad menuju tempat sampah dan hendak mengambilnya.
Tiba-tiba, suara deru mobil mengejutkanku. Ternyata Mas Dimas.
“Ketemu lagi di sini! Mau apa kamu di sini? Mau memanfaatkan keadaan, ya?” Mas Dimas menatap nyalang ke arah Gerad.
Namun, Gerad enggan menjawab dan langsung pergi.
“Maaf, di sini sudah tidak ada tempat untuk seorang pengkhianat. Mau apa kamu ke sini?” Aku balik bertanya pada Mas Dimas.
“Aku cuma mau ambil beberapa barangku.”
“Bagus! Aku tidak perlu repot-repot membuang semua barangmu,” ketusku.
Kemudian, Mas Dimas hendak nyelonong masuk, tapi segera kuhentikan.
“Kamu tidak perlu masuk. Biar nanti aku suruh orang kantor membereskan barang dan mengantarkan ke rumah orang tuamu. Aku nggak mau rumahku dikotori sama pengkhianat.” Aku langsung menutup pintu. Tak akan membiarkan Mas Dimas mengotori rumahku lagi.