Aku melangkah mantap menuju ruangan Pak Maman. Tampak staf bagian keuangan itu sedang sibuk di depan laptop, kemudian memasukkan sejumlah uang ke amplop berwarna cokelat.
“Setelah dari ruangan Pak Dimas segera kembali ke sini, ya, Pak. Ada beberapa hal yang mau saya tanyakan.” Aku langsung duduk di kursi yang ada di ruangan Pak Maman.
“Baik, Bu Dela.” Pak Maman keluar.
Ketika sedang menunggu Pak Maman kembali, teleponku terus menerus berdering. Namun, tak kuhiraukan. Mungkin saja Mas Dimas yang menghubungiku. Pasti dia memelas dan memohon agar aku tidak menggugat cerai.
Teleponku tak berhenti berdering. Kemudian, kulirik sekilas benda pipihku yang berada di dalam tas. Astaga, ternyata ibuku yang menelepon.
Tanganku ragu mengangkat telepon dari Ibu. Perasaanku masih tak keruan. Takut jika Ibu semakin mengkhawatirkanku. Lebih baik saat di rumah akan kutelepon balik.
Aku kembali menutup tas. Dadaku masih bergemuruh ketika mengingat perbuatan Mas Dimas dan Siska. Hatiku sangat sakit.
Tak lama, Pak Maman datang. Dia langsung menuju mejanya tanpa mengajakku berbicara. Mungkin karyawanku itu sengaja ingin membiarkanku tenang. Aku pun semakin penasaran dengan ucapan Pak Maman saat di telepon.
“Maaf, Pak Maman, saya mau nanya. Apa Pak Maman sudah tau kelakuan suami saya sejak awal?” Aku menggeser kursi seraya mendekati Pak Maman.
Pak Maman bergeming. Dia hanya menatapku penuh iba. Sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan.
“Maaf, Bu. Apa Bu Dela sudah dapat pengganti Pak Dimas?” Pak Maman berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Kalau soal itu saya serahkan sama Pak Maman. Pak Maman yang lebih tau semua karyawan di sini. Pokoknya cari yang jujur dan kompeten, ya, Pak.”
“Bagaimana kalau Pak Heru saja, Bu? Beliau yang meng-handle semua kerjaan Pak Dimas selama i—” Ucapan Pak Maman seketika terhenti.
“Yang menghandle kerjaan Mas Dimas?” Aku semakin bingung dengan ucapan Pak Maman.
“Maaf, Bu, maksud saya Pak Heru yang selama ini banyak membantu Pak Dimas.”
“Pak, pasti ada yang Bapak sembunyikan dari saya. Sebenarnya ada apa, Pak? Katakan, Pak, semua sudah jelas. Saya sudah tahu semua perbuatan bejat suami saya,” lanjutku penuh penekanan.
Pak Maman masih terdiam. Dia tampak salah tingkah.
“Bisa saya cek laporan keuangan kantor, Pak?” Aku ingin mengetahui pemasukan dan pengeluaran di kantor.
Dengan ragu, Pak Maman mengambil beberapa map. Kemudian, beliau menyerahkan padaku. Betapa terkejutnya diriku saat melihat merosotnya pemasukan dan beberapa tagihan menunggak.
“Kok, bisa begini, Pak?”
“Maaf, Bu, sebenarnya ini semua ulah Pak Dimas. Beliau selama dua tahun belakangan ini menghambur-hamburkan uang kantor. Setiap bulan menyuruh transfer sejumlah lima puluh juta ke salah satu nomor rekening,” jawab Pak Maman berhati-hati.
Tubuhku kembali lemas. Selama ini aku tidak tahu perkembangan bisnisku. Sebodoh ini terlalu mempercayai Mas Dimas yang memegang semua urusan kantor.
“Nomor rekening siapa, Pak?” tanyaku penasaran.
Namun, Pak Maman hanya menunduk. Dia seperti berat untuk mengatakan sesuatu.
Kecurigaanku semakin besar. Tidak mungkin Mas Dimas mengirimkan uang pada orang tuanya. Setiap bulan sudah menjadi rutinitasku memberi uang pada mertua. Lagi pula, mereka selama ini tak pernah berbuat seperti mertua-mertua di sinetron yang memeras anaknya. Ah, pasti Mas Dimas mengirimkan untuk wanita jalang itu.
“Apa Pak Dimas menyuruh transfer ke rekening Siska, Pak?” Aku menegakkan badan seraya meletakkan tangan di ujung meja.
Pak Maman diam. Beliau hanya menggeleng. Rasa penasaranku bertambah besar. Lalu, Mas Dimas menyuruh transfer ke rekening siapa?
“Pak, tolong jawab pertanyaan saya!” Aku sengaja menggebrak meja.
Pak Maman pun terkejut dan gelagapan. “Maaf, Bu. Sebenarnya Pak Dimas menyuruh transfer ke rekening pribadinya. Kemungkinan beliau berikan pada Bu Siska. Kami semua sudah mengetahui hubungan gelap mereka sejak awal Bu Siska bekerja di sini.”
Astaga, benar-benar keji. Aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan secara kasar. Sangat tidak habis pikir dengan kelakuan Mas Dimas. Pokoknya esok aku akan menggugat cerai. Tak ada maaf lagi untuknya.
“Selain itu, belakangan ini Pak Dimas jarang masuk kantor, Bu. Makanya semua pekerjaannya diambil alih sama Pak Heru.”
“Kenapa Pak Maman tidak memberi tahu saya?” Aku balik memarahi Pak Maman.
“Kita semua diancam sama Pak Dimas, Bu. Kalau sampai buka mulut, kita semua akan dipecat,” lirih karyawanku itu seperti merasa takut.
“Ya ampun, Pak Maman!” Aku meletakkan tangan di kepala. Benar-benar pusing memikirkan kelakuan Mas Dimas.
Setelah itu, aku keluar ruangan. Ketika sampai di depan ruangan Mas Dimas, ternyata mereka sudah pergi. Hatiku kembali teriris. Membayangkan masa-masa terindah yang kuhabiskan di ruangan tersebut.
Tiba-tiba perutku terasa lapar. Aku pun memutuskan untuk pergi ke restoran yang terletak di depan kantor. Sejak tiba, perutku sama sekali belum diisi makanan. Lagi pula melihat perselingkuhan Mas Dimas membuatku tidak berselera makan. Dampaknya baru terasa saat ini.
Aku berjalan pelan menuju restoran. Ketika hendak memilih tempat, mataku seketika tertuju pada sepasang laki-laki dan perempuan yang sedang asyik bercengkerama. Darahku kembali mengalir panas. Sepasang manusia yang kulihat ternyata Mas Dimas dan Siska.
Aku berusaha menghindar dan pura-pura tidak melihat. Namun, sepertinya Siska telah mengetahui keberadaanku. Tampak wanita jalang itu memeluk Mas Dimas sangat mesra dengan tatapan sinis ke arahku. Seperti ingin menunjukkan keromantisannya.
Aku segera meninggalkan restoran. Baru beberapa langkah, suara teriakan dari arah belakang menghentikan langkahku. Aku spontan membalikkan badan.
“Dela, tolong maafin aku, Del. Tolong jangan mengurus perceraian. Aku berjanji akan berubah dan meninggalkan Siska,” ucap Mas Dimas dengan wajah memelas.
Mendengar penuturannya, aku spontan mencebik. “Kamu bilang akan tinggalin Siska? Nyatanya sekarang kamu berduaan di sini.”
“Ini semua nggak seperti yang kamu lihat, Del. Aku janji setelah ini akan meninggalkan dia.”
“Maaf, aku nggak bisa. Selama dua tahun kamu hamburkan uang kantor dan menjalin hubungan gelap di belakangku. Sekarang kamu harus tanggung konsekuensinya.” Aku membalikkan badan.
Seketika Mas Dimas meraih tanganku dan membalikkan badan kembali ke hadapannya. “Jadi, kamu sudah tahu semuanya? Tapi, aku masih mencintaimu, Dela.”
“Maaf, semuanya sudah terlambat.”
Kemudian, tampak Siska berjalan mendekati kami.
Tanpa rasa malu dia menggandeng Mas Dimas sangat mesra dan menatapku dengan senyuman sinis. “Ayo, Mas, kita pergi dari sini.”
Hatiku seketika perih. Rasa-rasanya ingin kucakar wajah dan kujambak rambut wanita jalang itu. Namun, semua itu tak akan ada artinya. Hanya tinggal menunggu waktu untuk menggugat cerai Mas Dimas.LANJUTKAN
Judul : WANITA LAIN DI DALAM KAMARKU
Penulis : RIRIN IRMA