WANITA LAIN DI DALAM KAMARKU BAB 1

WANITA LAIN DI DALAM KAMARKU

“Maksudnya gimana, Pak Maman?” Aku balik bertanya.

“Ti-tidak, Bu. Maaf, saya salah ngomong,” kilah Pak Maman.

“Ya udah, Pak, sebentar lagi saya segera ke kantor.” Langsung kututup telepon.
Tanganku masih bergetar. Lututku pun serasa lemas. Aku benar-benar syok atas perbuatan yang dilakukan Mas Dimas.
Aku beranjak ke kamar. Di ruangan minimalis nan mewah itu kupandangi tempat tidur, tempat di mana suamiku dan sekretarisnya memadu kasih. Hatiku seketika berdesir perih. Istri mana yang sanggup melihat perselingkuhan suaminya dengan mata kepalanya sendiri?
Ya Tuhan, mengapa nasib rumah tanggaku seperti ini? Apa yang salah denganku? Apa selama ini aku terlalu mempercayai Mas Dimas begitu saja? Rentetan pertanyaan yang menghakimi diri sendiri semakin merebak di pikiran.

Tak terasa bulir bening kembali membasahi pipi. Dadaku terasa sesak. Aliran darah serasa berhenti sejenak. Kemudian, aku menuju ke meja rias. Kupandangi foto pernikahanku dengan Mas Dimas.
Senyum bahagia yang dulu pernah terukir kini telah berganti dengan air mata. Seketika teringat kata manis dari bibir suamiku itu. Dulu dia berjanji akan setia sampai maut memisahkan. Namun, kenyataannya semua itu hanya omong kosong.

Dadaku kian bergemuruh. Tanganku spontan mengambil foto pernikahan yang terbingkai sangat indah. Lalu kubanting benda tersebut hingga pecah berkeping-keping di lantai. Hal itu cukup menunjukkan betapa hancurnya hatiku.
Aku menangis sejadi-jadinya. Tak ada wanita yang menginginkan hal ini terjadi. Namun, aku harus kuat menghadapi ujian dari Tuhan.
Tiba-tiba, deringan ponsel mengagetkanku. Nama Pak Maman tertera di layar. Segera kuangkat telepon darinya.

“Maaf, Bu, saya cuma mau kasih tahu kalau Bu Siska dan Pak Dimas sekarang sudah ada di ruangannya,” ucap Pak Maman di seberang.

“Oke, tunggu saya, ya, Pak Maman. Saya segera ke kantor,” jawabku masih dengan suara parau.

“Tapi Bu Dela nggak apa-apa, kan? Tidak terjadi sesuatu dengan Bu Dela, kan?” Pak Maman memberondongiku dengan pertanyaan.

“Nggak, Pak Maman. Pak Maman nggak usah mengkhawatirkan saya. Saya baik-baik saja.” Tanpa pemberitahuan, langsung kututup telepon.

Tanpa pikir panjang, aku segera menuju kantor. Hatiku benar-benar telah panas. Kulajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Tak butuh waktu lama aku pun tiba di kantor.
Semua karyawan terkejut melihat kedatanganku. Ya, selama Mas Dimas yang mengurusi kantor, aku jarang berkunjung. Waktuku lebih banyak kuhabiskan di rumah.
Apalagi ditambah tanpa senyuman dan langkah yang cepat membuat setiap mata yang memandangku bertanya-tanya. Tampak beberapa karyawan bergerombol sambil berbisik-bisik. Namun, aku tak memedulikannya.

Ketika tiba di depan ruangan Mas Dimas, Pak Maman langsung mencegahku. Beliau memberi kode agar aku tetap berada di luar. Di balik pintu yang terbuka sedikit, kulihat Siska dan Mas Dimas sedang beradu mulut.

“Kamu harus tanggung jawab atas semua ini, Mas. Gara-gara kamu aku kehilangan pekerjaan!” ucap Siska penuh penekanan.

“Emang kamu aja yang rugi? Aku lebih rugi tau! Semua fasilitas dan perusahaan diambil alih oleh Dela. Mau jadi apa aku? Apalagi kalau Dela menuntut cerai! Aku nggak bisa kirim uang ke kamu lagi!” Mas Dimas balik menyalahkan Siska.

“Tolong, kamu mengerti aku. Untuk saat ini kita bersandiwara. Kamu sementara waktu jangan menghubungiku sampai keadaannya benar-benar pulih. Aku mencintaimu Siska Cantik.” Mas Dimas mencubit dagu Siska yang runcing.
Siska pun tampak tersenyum semringah sembari melingkarkan tangannya di leher suamiku. Kemudian, mereka berdua bermesraan di dalam ruangan.
Tanganku sudah mengepal. Langsung kudorong pintu sangat keras hingga menimbulkan bunyi. Seketika mereka terkejut.

“Dasar wanita tak tahu malu! Kalian belum puas melakukan di rumahku, sekarang mau lakukan lagi di kantor?” ucapku sangat geram.
Banyak karyawan yang berbondong-bondong menyaksikan kami di ruangan. Namun, Pak Maman langsung menyuruh mereka kembali ke tempat kerja masing-masing.

“Maaf, Bu, sebaiknya kita selesaikan baik-baik di ruangan meeting. Malu dilihatin karyawan,” saran Pak Maman.

“Biarin, Pak. Biar manusia ini tahu malu! Sekarang juga Pak Maman buat surat pemecatan Siska dan Pak Dimas. Jangan lupa pesangon untuk mereka,” titahku pada Pak Maman.

“Ba-baik, Bu Dela.” Pak Maman langsung keluar ruangan.

“Aku udah muak melihat kalian. Keluar dari sini sekarang juga. Untukmu, Mas, besok aku akan ajukan perceraian,” ucapku sambil memasukkan kedua tangan ke saku celana.

“Dela! Aku nggak mau kita berceraj. Aku nggak bisa hidup tanpamu, Dela.” Mas Dimas berjalan mendekat.
Aku pun mengangkat kedua telapak tangan. “Sorry, aku nggak bisa. Bukannya kamu senang bisa hidup bahagia dengan wanita cantik ini? Mulai sekarang sudah tidak ada lagi yang mengganggu hubungan kalian.”
Siska hanya diam mematung. Dia justru merangkul Mas Dimas sangat mesra. Namun, lelaki yang telah mengkhianatiku itu menepisnya. Dasar, wanita tak tahu malu!

“Maaf, aku masih banyak kerjaan. Kalau kalian nggak mau keluar dari sini, biar aku yang akan pergi.” Aku pun beranjak dari ruangan dengan langkah gontai.
LANJUTKAN MEMBACA DISINI