Kalian keras kepala, aku juga bisa!
POV. Medina
“Jangan pura-pura tidak tahu, kamu! Medina tadi bilang, bahwa semalam kamu telah menyusup ke kamari! Kemudian memp*rk*sanya!” Om Yudha, menunjuk-nunjukkan jari telunjuknya ke arah putranya.
“Aku tidak melakukannya, Pa ….” Dia menggeleng pelan. Kemudian, kepala itu dipegang dengan kedua tangannya.
“Lagian dia itu siapa? Kenapa bisa ada di kamarnya Elang?” Elang menatapku, kemudian menatap papanya.
“Di kamarmu, kamu bilang? Ini bukan kamarmu! Ini kamarnya Medina!”
Mendengar ucapan papanya, lelaki itu lagi-lagi memperlihatkan ekspresi seperti orang yang tengah kebingungan. Entah dia benar-benar bingung, atau pura-pura bingung. Dia terlihat menatap ke arah sekelilingnya. Menatap ke arah beberapa fotoku yang tergantung di dinding sebelah sana.
“Tapi kenapa dia bisa ada di rumah kita, Ma? Atau jangan-jangan … dia pembantu baru di rumah ini?”
Pembantu? Apakah tampangku mirip seorang pembantu?
“Pembantu kamu bilang? Dia itu putri dari temannya Mama! Dia ada di sini karena permintaan Mama!”
“Dan kamu telah memp*rkosanya!” sambung Om Yudha.
“Dia, mengada-ngada! Papa jangan percaya begitu saja dengan kata-katanya! Harusnya Papa lebih percaya sama aku. Anak kandung Papa! Bukannya malah lebih percaya sama dia yang entah orang mana!”
Mendengar dia berbicara seperti itu, tentu saja, aku merasa meradang. Ingin rasanya aku turun dari ranjang, dan kemudian menghajar lelaki yang tidak beradab itu. Enak saja dia bilang aku mengada-ada, setelah dia mendapatkan semuanya.
“Auw!” Aku menjerit kecil. Baru saja kaki ini hendak kugerakkan, ternyata area intimku terasa nyeri tidak karuan.
Seketika, Tante Ira yang berdiri di samping putranya, segera naik ke atas ranjang, meraih bahuku.
“Apanya yang sakit, Sayang ….” Wanita itu menatap wajahku dengan penuh kekhawatiran. Kemudian tatapan itu turun ke bawah, seolah-olah beliau mengerti benar, apa yang sedang kurasakan.
“Biar Tante bantu turun dari sini, Sayang, ya?”
Kemudian ditariknya tubuhku, dan dipapah turun dari ranjang, masih dengan berbalut selimut tebal. Di dekat kolong ranjang, aku melihat beberapa pakaianku yang berserakan.
Begitu ranjang kutinggalkan, nampaklah bercak merah di atas sprei berwarna putih itu. Noda itu terlihat begitu kentara. Itu artinya, aku tidak bermimpi. Kejadian semalam memang nyata adanya.
“Lihatlah, Elang, itu ada bercak merah. Itu artinya Medina tidak mengada-ada!” Tante Ira berbicara sembari jari telunjuknya menunjuk ke arah bekas noda itu.
“Apa hubungannya bercak merah dengan tuduhan kalian?” Lagi-lagi, dia bertanya dengan memperlihatkan ekspresi kepolosannya.
“Bercak merah itu, menandakan, kalau semalam selaput daranya sudah ada yang merobeknya. Begitu saja kamu tidak tahu!” Tante Ira nampak geram dan bersungut-sungut.
“Lihat juga cakaran di wajah dan punggungmu. Itu merupakan bukti, bahwa kamu telah melakukan rudapaksa terhadap Medina! Papa tidak menyangka, bahwa kamu sebejat itu!” Wajah Om Yudha nampak merah padam, memendam amarah yang begitu besar.
Aku menatap bekas cakaran itu. Bahkan aku juga melihat adanya bekas gigitan di pundak sebelah kirinya. Itu artinya, laki-laki yang semalam aku gigit, memang dia. Sudah pasti, yang mengambil keperawananku juga adalah dia.
“Sekarang juga, kamu mandi. Nanti kita pergi ke rumah orangtuanya Medina. Selesaikan masalah ini! Nikahi dia secepatnya!”
Ucapan Tante Ira, sontak membuat aku terkejut. Bukan hanya aku. Namun Elang pun juga sama terkejutnya. Mata lelaki itu nampak lebih membesar, menatap ke arah mamanya.
“Tidak! Aku tidak mau menikahinya! Aku sudah punya Laura! Hanya Laura yang pantas bersanding denganku! Bukan bocah ingusan itu!”
Plak!