“Sebentar! Jangan dipukul dulu. Keenakan kalau dia langsung mati! Kita seret saja! Nanti Pak Yudha pegang tangan kanannya, Pak Agus pegang tangan kirinya, Pak Budi pegang tubuh bagian belakangnya, dan saya ….”
“Kamu mau ngapain?”
“Saya yang akan memotong burungnya!”
Sambil berbicara seperti itu, seorang petugas keamanan yang merupakan mantan preman itu, sudah mengeluarkan sebuah pisau dari balik punggungnya.
“Ayo, kita seret sekarang juga! Kita eksekusi secepatnya. Enak saja, berbuat asusila di lingkungan kita!”
Dengan langkah cepat, Om Yudha membalikkan badan lelaki itu. Hingga posisinya yang tadinya tengkurap, kini sudah berubah menjadi telentang.
Detik itu juga, mereka semua nampak begitu terkejut, begitu melihat wajah lelaki yang telah mengambil kehormatanku itu.
“Elang?” Raut wajah Om Yudha menampakkan keterkejutan.
“Elang?” Tante Ira, sama terkejutnya.
Baju-baju yang tadi ada di dalam dekapan, kini sudah berjatuhan. Kedua telapak tangannya digunakan untuk menutupi mulutnya, dengan mata yang membulat sempurna.
“Mas Elang? Ini benar Mas Elang, kan?” Pak Budi, juga tidak kalah terkejutnya.
“Ternyata Mas Elang ….” Dua petugas keamanan, juga menampilkan ekspresi keterkejutan yang sama.
“Nggak nyangka, ya? Ternyata Mas Elang. Untung, belum kita gebukin ramai-ramai.”
Ya, aku tahu sekarang. Begitu aku melihat wajahnya, ternyata wajah itu sama, dengan wajah yang terpajang di foto keluarga, yang ada di ruang tamu. Itu artinya … lelaki bejat yang mengambil kehormatanku, dia adalah putra tunggal dari Tante Ira dan Om Yudha. Anak yang sering dibangga-banggakan oleh mereka berdua, ternyata kelakuannya sangatlah nista.
“Kapan dia pulang, Pa? Bukankah kemarin dia bilang, bahwa dia pulangnya masih sekitar satu Minggu lagi?” Tante Ira terlihat kebingungan.
“Elang! Bangun!!!”
Tanpa menanggapi pertanyaan istrinya, Om Yudha langsung menampar lelaki bernama Elang itu. Namun yang ditamparnya, masih tetap tertidur, seolah tidak merasakan apa-apa.
Melihat tidak ada respon dari anaknya, Om Yudha pun berusaha menyeret tubuh itu. Namun sepertinya tenaga Om Yudha tidak cukup kuat. Tiga orang laki-laki yang ada, dengan sigap langsung membantunya.
Hingga akhirnya, tubuh yang juga tidak tertutup apa-apa itu, kini telah terjatuh ke lantai, lemas lunglai tidak berdaya.
Sebuah tendangan, dihadiahkan oleh lelaki setengah baya itu. Namun hasilnya sama saja. Lelaki yang bernama Elang itu, tetap tidak meresponnya.
“Ma, ambilkan air!”
Tante Ira berlari ke kamar mandi, dan membawa seember air, dan langsung diguyurkan ke wajah putranya.
Dia gelagapan. Lelaki yang dipanggil Elang itu, terbatuk-batuk dan kemudian muntah-muntah tidak karuan.
Diguyur lagi, wajah dan badannya.
“Mama? Papa?” Lelaki itu menatap bingung ke arah kedua orang tuanya. Kemudian tatapan matanya beralih pada beberapa lelaki yang ada.
“Apa yang sudah kamu lakukan terhadap Medina, ha? Dasar anak kurang ajar!”
“Kenapa pulang tidak bilang-bilang!”
“Kenapa juga, sampai di rumah, langsung membuat masalah!”
Tubuh itu ditendangnya bertubi-tubi. Dari wajah hingga ke kaki. Om Yudha mengamuk tidak terkendali.
Tante Ira berusaha melindungi putranya. Diambilnya celana dalam putranya, kemudian dipakaikan olehnya. Setelah itu, tubuh itu dipeluknya, dengan derai air mata. Setiap Om Yudha berusaha menyerang putranya, maka Tante Ira akan dengan suka rela menjadi tamengnya.
“Pak Budi, Pak Roni dan Pak Agus, mohon maaf. Kalian keluar lah, dulu. Sekali lagi, mohon maaf. Saya mohon, masalah ini jangan sampai bocor ke luar. Biar kami yang menyelesaikan. Oke?” Tante Ira meminta ketiga laki-laki itu untuk meninggalkan kamar ini.
Mereka semua saling bertatap mata, kemudian sama-sama menganggukkan kepala.
“Baiklah, Bu. Semoga masalah ini cepat selesai dengan jalur damai. Semoga bisa segera menemukan kesepakatan, tanpa ada yang merasa dirugikan.” Mereka pun, mengerti. Melangkah pergi, meninggalkan kamar ini.
“Apa yang kamu lakukan terhadap Medina!” Om Yudha menarik tubuh putranya dari pelukan istrinya.
“Medina siapa, Pa? Aku tidak mengerti!”
“Jangan pura-pura bodoh! Kamu telah mempe*kosanya, kan? Iya, kan? Siapa yang mengajarimu berbuat tidak senonoh seperti itu! Apakah di luar negeri, kelakuan kamu memang sudah bejat seperti itu? Iya?!”
“Mem*erkosa?” Elang nampak kebingungan.
“Jangan pura-pura tidak tahu, kamu! Medina tadi bilang, bahwa semalam kamu telah menyusup ke kamari! Kemudian memp*rk*sanya!” Om Yudha, menunjuk-nunjukkan jari telunjuknya ke arah putranya.
“Aku tidak melakukannya, Pa!”