Istri Yang Terbuang
Bab 2
..
“Nah, ini baru keluar peraduan tuan putrinya,” sindir Tini yang melihat Kinan muncul di dapur.
Kinan yang masih dongkol pada sang suami mengabaikan Tini dan terus melangkah ke belakang, hendak menangkat pakaian yang tidak semua Tini bereskan. Bukan ia sengaja melalaikan tugas yang satu itu, tetapi Kinan memang tak sengaja ketiduran setelah salat Asar tadi. Beruntung sebelum turun hujan ia sudah terbangun.
Kinan memasukkan semua pakaian yang sudah kering ke dalam keranjang, kemudian meletakkannya ke kamar khusus dekat dapur. Saat ia kembali ke dapur sudah ada Rini—kakaknya Aldo—anak sulung Tini.
“Ki, anakku mana?” tanya Rini.
“Anak Mbak kok tanya ke aku. Ya, mana aku tahu di mana,” jawab Kinan setengah hati.
“Loh, kan anakku tadi main di sini, sebagai tantenya harusnya kamu jagain mereka. Kok malah nggak tau jawabnya. Gimana, sih.” Rini sewot. Ia duduk di kursi sembari mengupas pisang yang diambil dari kulkas. Tanpa basa-basi Rini memakan pisang yang dibeli oleh Kinan untuk stok cemilannya.
“Mbak aku ini tantenya anak-anak, bukan penjaganya mereka yang harus tahu kemana aja mereka pergi.”
“Intinya kamu di sini dan anakku main di rumah ini, masa’ kamu nggak tau mereka ke mana? Atau jangan-jangan tadi kamu nggak bolehin mereka main ke sini, ya?” Rini berbicara disela mengunyah pisang.
“Oh iya, Kakak baru ingat kemarin mereka pulang kotor banget, kayak abis mandi berenang mana bau lagi. Terus kapan hari Rizki kakinya luka berdarah kayak kena tusuk paku gara-gara main di lapangan. Mereka pamit main ke sini tapi katamya semua pintu di tutup, nggak bisa masuk. Itu juga kamu sengaja, ya, Ki. Supaya anak-anakku nggak masuk ke rumah? Bener-bener ya kamu, kelewatan!”
Kinan menghentikan aktivitasnya mengelap gelas yang sudah dicuci, hendak ia simpan di lemari. Berbalik ia menghadap Rini, wanita yang kerap menitipkan anak pada Kinan tanpa melihat keadaan itu ia tatap lekat.
“Anak-anak Mbak bukan bayi lagi yang harus aku kekepin, mereka udah bisa main sendiri. Dan kerjaan aku di rumah ini banyak, bukan cuma merhatiin mereka aja. Kalo Mbak mau anak-anak selalu terkontrol harusnya Mbak jaga sendiri, jangan dibiarin keliaran keluar rumah!” ujar Kinan yang kekesalannya bertambah berkali lipat setelah mendengar ucapan Rini.
Rumah Rini dan ibunya hanya berjarak beberapa meter saja, hal itu membuat Rini dan anak-anaknya bisa dengan bebas datang kapan saja ke rumah Tini. Nando dan Riski dua anak laki-laki Rini hanya terpaut usia satu tahun yang kini duduk di bangku kelas dua dan tiga sekolah dasar memang sering menghabiskan waktu di rumah neneknya.
Bukan sekadar untuk bermain, tetapi mereka juga kerap makan, tidur dan melakukan aktivitas lain di rumah neneknya sebab sejak bayi memang terbiasa dititipkan saat Rini harus bekerja.
Awalnya Kinan menyambut baik kedatangan keponakan Aldo yang juga sudah menjadi keponakannya itu. Namun, semakin ke sini Kinan merasa ada yang tidak benar sebab ia seperti dimanfaatkan untuk menjaga anak-anak iparnya itu.
Terkadang pagi buta anak-anak sudah menggedor pintu dalam keadaan masih muka bantal, padahal hari itu mereka harus sekolah. Kalau sudah begitu Kinanlah yang akan memandikan, membuatkan sarapan dan menyiapkan keperluan sekolah mereka. Sedangkan sang ibu akan datang saat jamnya mengantar ke sekolah. Terkadang pulang sekolah pun anak-anak langsung ke rumah neneknya, minta makan.
Bukan Kinan tak mau mengurus anak-anak iparnya, tetapi dengan ia melakukan itu Rini seolah menggantungkan harapan supaya semua dilakukan oleh Kinan. Selain itu sikap Rini yang sama seperti Tini dalam memperlakukannya membuat Kinan jengah melakukan kebaikan yang selalu dianggap tidak benar.
“Ada apa, Rin? Kok ribut-ribut.” Tini muncul ke dapur dengan sebuah paper bag yang dijinjing. Paper bag tersebut lalu ia berikan pada Rini.
“Itu, tuh mantu Ibu. Udah nggak mau jagain anak-anakku lagi dia,” jawab Rini mencebik pada Kinan. “Nggak mau lagi dititipin keponakan.”
“Benar begitu, Ki?” tanya Tini seraya melayangkan pandangan pada menantu perempuannya.
Kinan tak menjawab. Ia memilih melanjutkan pekerjaanya mengelap gelas dan piring, mengabaikan pertanyaan sang mertua yang dijawab ataupun tidak hasilnya akan tetap sama. Keributan.
“Dasar mantu mandul! Pantas nggak hamil-hamil sama anak-anak nggak sayang!”
Jlegar!
Kinan bagai disambar petir di siang hari yang cerah. Ucapan Tini barusan membuat ubun-ubun Kinan serasa mendidih. Ada yang nyeri di dalam dadanya. Sejahat apa perlakuan yang ipar dan mertuanya lakukan, yang paling melukai hati Kinan adalah lidah mereka.
Apa yang Tini katakan barusan adalah tuduhan paling kejam untuk seorang menantu yang merasa tak pernah dianggap.LANJUTAN
judul : Istri Yang Terbuang
Penulis : Maey Angel